CERBUNG: USAI Eps. Prolog

EDIT BY CANVA

Dalam sunyi dan gelapnya malam, cahaya rembulan telah redup bersama bintang-bintang. Semilir angin yang sejuk mencipta kedamaian, tidak ada tempat yang lebih baik selain pada malam yang tenang dan menghangatkan. Tempat di mana kamu berada di dalamnya.

Dalam hangat balutan senja, kurangkai sebuah kata sambil mengenangmu sosok yang kurindukan. Bersama kicauan burung di langit, kusampaikan pesan lewat tulisan. Aku rindu kamu, namun aku hanya dapat mengenangmu.
Setiap degup jantungku tidak pernah ada getaran yang sama persis saat aku berada di dekatmu. Atau barangkali, degupnya telah hilang setelah kau pergi dan memporak-porandakan hati. Atau mungkin hatiku telah mati, karena telah berulang kali patah hati.

Telah banyak waktu terlewati. Namun, aku yang masih saja mengenangmu tidak kunjung bangkit dari cerita masa lalu. Bagimu, kita tidak pernah ada hubungan apapun. Tapi bagiku, hadirmu sudah cukup untuk mengisi ruang hati. Aku tidak pernah mengharapkan siapapun selain dirimu, karena kamu hadir tepat di saat hati ini membutuhkan orang sepertimu. Singkatnya, kamulah cinta pertamaku.

Mengenangmu tidak akan pernah ada akhir, begitu banyak cerita, tawa dan tangis yang kita lewati bersama. Rasanya sudah tidak mungkin bagiku untuk menganggapmu sebagai orang asing. Berbagai cerita masa lalu membuatku teringat, bahwa kamu orang asing pertama yang sangat peduli terhadapku, hingga pada akhirnya aku menyalah artikan kepedulianmu. Rasa yang perlahan tumbuh kemudian harus kutepis karena kenyataan yang tidak berpihak padaku.

Mengenangmu bukanlah sesuatu yang kuinginkan, meski sebenarnya hari-hari saat bersamamu adalah yang kurindukan. Namun, tetap saja akhir dari cerita itu hanya sebuah luka tanpa ada obatnya. Akhir dari semua cerita itu hanya sebuah penyesalan tanpa ada kesempatan. Kesempatan untuk kembali bersama merajut harapan.
Mungkin, aku telah salah menaruh harap. Setiap rasa yang telah kupupuk dari awal juga telah salah ku mulai. Seharusnya, aku tidak menganggapmu lebih dari sekedar teman. Seharusnya, rasa itu sudah kubunuh mati dari awal.

Yang terluka akan tetap terluka.
Dialah aku...
 Seseorang yang dengan bodohnya tetap mencintaimu.
Meski aku tahu, bahwa cintamu bukan Lagi untukku.

***
Ini kisah tentangku, tentang bagaimana aku begitu setia menunggu walau tanpa harapan yang pasti. 

Setiap orang pernah berharap. Setiap orang pernah mencintai, tidak sedikit dari mereka juga terluka karena cinta itu sendiri. Sosok yang ku lihat dari jauh saat ini, dialah luka terbesar yang pernah kumiliki. Setiap sayatannya sangat membekas hingga tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk orang lain. Debaran hati ini masih bergetar begitu hebat saat dia melihat ke arahku. Tapi tatapan wajah itu tidak lagi sama seperti tiga tahun yang lalu, tahun pertama aku mengenalnya.

Saat dia yang kutatap melihat ke arah lain, rasanya begitu sesak. Tapi aku tidak pernah menyangka kalau dulu, kita begitu dekat. Dia yang sekarang kutatap seolah bukan dia yang kukenal tiga tahun yang lalu.

"Ra, ke kantin yuk?" Wulan teman baruku datang tiba-tiba, membuyarkan lamunanku tentang dia. Secepat kilat aku mengalihkan pandangan wajah ke arah lain, takut Wulan menyadari sosok yang kutatap sejak tadi. 

"Aku lagi malas ke kantin, Wulan. Kamu sendiri saja."

"Sudah seminggu sejak kita berkenalan, kamu tidak pernah mau ikut ke kantin bareng, kenapa?" tanya Wulan, mengingatkanku tentang kenyataan sekarang. Sekarang, aku bukan lagi anak SMA yang periang. Zulfa teman masa SMA ku juga tidak bersamaku sekarang. Siapa lagi yang aku punya kalau bukan Wulan yang berbaik hati untuk berkenalan denganku, seorang gadis pendiam yang tidak punya gairah dan semangat hidup.

Baru seminggu aku menjadi mahasiswa di kampus ini. Tapi di kelas aku sudah terkenal dengan julukan "gadis beku". Aku tidak peduli dengan penilaian mereka semua, karena yang kupedulikan hanya dia. Seseorang yang bahkan tidak peduli ada atau tidak adanya diriku. 


Bersambung... 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERBUNG: USAI Eps. Prolog"

Posting Komentar