CERBUNG: USAI Eps. Prolog (part-2)
![]() |
EDIT BY CANVA |
Aku dan Wulan masih duduk berhadapan. Ia mengamati dengan seksama. Aku mulai sadar bahwa Wulan sangat peduli terhadapku. Apa aku harus mengabaikan orang sebaik dia?
"Ra!" Panggil Wulan lagi karena melihatku bengong sejak tadi.
"Eh, iya. Ada apa?" Tanyaku bingung, aku mendadak linglung setelah mengingat masa SMA ku dulu.
"Kalau kamu butuh teman buat cerita. Cerita Ra, jangan dipendam sendiri," bujuk Wulan, kali ini ia duduk berhadapan denganku dengan tatapan serius penuh selidik. Ia tahu kalau wajahku selalu menyiratkan kesedihan yang begitu dalam. Kami baru mengenal satu sama lain selama seminggu, tapi dalam seminggu aku sudah bisa memahami karakter Wulan dengan baik. Sosoknya yang dewasa, tidak kekanak-kanakan, tidak suka cari perhatian apalagi tebar pesona dengan lawan jenis. Wulan itu lembut, tutur katanya, sorot matanya, dia adalah gadis dewasa yang bersembunyi dibalik usia. Meski usia kita sebaya tapi berada bersamanya seolah dia adalah kakak yang menyayangiku seperti adiknya. Orang yang tulus seperti dia tidak bisa ditemukan di banyak tempat.
"Kalau dipikir-pikir, seminggu ini interaksi kita cukup terbatas, Ra. Jujur, aku ingin bisa lebih kenal sama kamu. Sebagai teman semeja, aku rasa itu hal yang wajar. Walaupun sedikit kekanak-kanakan, iya kan?" Wulan mulai membuka percakapan.
"Maaf, Wulan. Aku masih belum beradaptasi. Wajar kan?"
"Ya ampun, Ra. Siapa sih yang tidak butuh adaptasi? Cuma jangan kelamaan saja, apalagi status kita sekarang bukan anak SMA yang masih labil dan baperan."
"Kamu benar. Kita bukan lagi anak SMA, tapi kadang sepertinya masa-masa itu adalah yang paling menyenangkan."
"Semua, Ra. Semua orang bilang begitu. Katanya, masa SMA itu paling berkesan. Soal persahabatan, pelajaran, interaksi sosial, percintaan," kalimat Wulan mendadak terpotong setelah ia menyebut kata percintaan, seolah Wulan juga memiliki sesuatu yang berkaitan dengan itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan sama sepertiku.
"Aku dengar kalau tidak salah kamu lulusan terbaik di angkatan, apa itu benar?" Wulan mengalihkan pembicaraan.
"Buat apa menjadi lulusan terbaik, Lan. Toh di kampus kita semua sama," kataku tersenyum samar.
"Kamu hebat tahu! Jangan merendah begitu. Sekarang, kamu diterima di kampus terbaik lewat jalur SNMPTN, itu juga termasuk keuntungan jadi lulusan terbaik," kata Wulan memuji, binar matanya yang lembut menyiratkan pujian yang sangat tulus.
"Semua orang juga banyak yang lulus dari jalur SNMPTN, Lan. Contohnya..." kalimatku terhenti aku tidak mampu menyebut nama seseorang yang tidak ingin aku ingat lagi, tapi pandanganku tetap saja tertuju ke arahnya. Ke arah seseorang yang sedang duduk sembari lihai menggerakkan bolpoin, sedang menulis sesuatu. Jarak tempat duduknya tidak cukup jauh. Berseberangan tersekat tiga meja, dia duduk di barisan paling depan. Tempat yang selalu menjadi pilihan terbaik untuk mendengarkan materi pelajaran. Tempat duduknya sejak masa SMA selalu di depan. Teman SMA dulu menyebutnya, "Murid kesayangan". Karena rajin dan pintar, dia selalu menjadi kebanggaan para guru, membuat iri semua penghuni kelas. Mungkin, sebentar lagi ia juga akan menjadi populer di kampus.
"Apa aku boleh bertanya?" Wulan menatapku serius, apa Wulan menyadari kalau aku sedang memperhatikan pria itu?
"Tanya apa?" Tanyaku sambil berusaha duduk dengan tegak karena gugup, khawatir dengan apa yang akan ditanyakan Wulan.
"Kamu lulusan terbaik. Tapi kenapa kamu memilih jurusan Pendidikan Agama Islam? Ini kampus terbaik, semua jurusan tersedia. Tidak seperti di kotaku yang jurusannya terbatas. Itu juga alasan kenapa aku rela berpisah dengan orang tua dari jarak ribuan kilometer. Tapi kamu, justru memilih jurusan yang hampir di semua kampus tersedia," Wulan melihatku penuh tanda tanya, dia menyadari pasti ada hal yang tidak sederhana kenapa aku memilih jurusan ini.
Sejak awal, aku memang tidak begitu tertarik dengan kampus yang kupilih. Tapi karena ada dia, kemanapun aku mungkin akan tetap mengikutinya. Orang tuaku juga mendesak agar aku memilih jurusan yang lebih menjanjikan dan memiliki prospek kerja yang luas saat lulus nanti. Sebab, bagi kebanyakan orang termasuk orang tuaku tujuan dari kuliah tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mencari pekerjaan yang layak setelah lulus.
Jika aku hanya seorang lulusan sarjana pendidikan, sainganku bukan hanya satu dua orang, melainkan jutaan manusia yang juga memilih profesi dibidang yang sama. Sejak masa sekolah dasar, aku sudah sangat tertarik dengan dunia pendidikan. Ada seorang guru yang membuatku terinspirasi untuk menjadi guru di masa depan, tetapi cita-cita itu berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Setelah aku mengenal dia, aku bahkan kehilangan arti apa itu cita-cita. Kini, kemana aku harus pergi dan apa yang harus aku pilih seolah teralarm dengan sendirinya mengikuti seseorang yang bahkan tak peduli tentangku.
Aku hendak menjawab pertanyaan Wulan. Namun, belum sempat aku menjawab suara seseorang dari luar terdengar memanggil nama pria yang kutatap sejak tadi. Pria itu bangkit dari tempat duduknya, keluar kelas dan mulai menghampiri seseorang yang memanggilnya. Wulan juga ikut menoleh, ingin tahu siapa yang bersuara di luar kelas. Mengganggu percakapan kami berdua.
"Pria itu seperti kamu. Pendiam dan cukup misterius. Mungkin, dia juga belum adaptasi seperti kamu." Wulan memperhatikan pria itu saat melangkah keluar. Pandangannya fokus ke depan, tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang mengamatinya.
"Dulu, dia adalah pria humoris yang pernah aku kenal. Pria menjengkelkan yang pernah ada. Dia adalah siswa populer pada masanya." Aku tersenyum getir saat mengatakan kalimat itu. Aku bahkan tidak menyadari seharusnya aku tidak mengatakannya. Hal ini justru membuat Wulan semakin banyak bertanya.
"Kamu sudah kenal dia?"
Bersambung...
Semangat, Kak. Menunggu lanjutannya
BalasHapus