Cerpen: Sang Peraih Mimpi
![]() |
Edit by: canva |
Gemericik hujan terdengar dengan beralunan, sejuk dinginnya menerpa kulit hingga ke tulang, malam telah menambah suasana hening tak berbintang. Hanya riuh suara hujan terdengar. Sambil ku tatap langit malam aku mulai berkhayal, seandainya setelah lulus SMA aku langsung kuliah, mungkin hidupku tidak akan sekeras ini, seandainya dulu aku tidak putus sekolah mungkin aku tidak kehilangan banyak teman. Ya, setelah lulus sekolah, teman-temanku berguguran satu persatu, hanya tersisa satu orang saja yang masih peduli padaku.
Aku tidak berharap pada siapapun, tidak juga berharap orang lain simpati terhadapku, tapi aku justru merasa sangat iri pada mereka yang hidupnya selalu baik-baik saja. Terkadang melihat orang lain tertawa aku sedikit berfikir, apa yang tidak aku miliki yang membuatku tidak bersyukur saat ini?
Dengan sekuat tenaga, aku mencoba untuk ikhlas sambil menyadari bahwa apapun yang terjadi dalam hidupku adalah bagian dari takdir. Orang lain yang aku lihat hidupnya selalu bahagia bisa saja ia telah melewati begitu banyak kesedihan sampai akhirnya tawa bahagia itu mereka dapatkan. Begitupun dengan saat ini, mungkin jalanku harus seterjal ini tapi suatu hari nanti bahagia itu pasti akan kudapati, karena aku yakin bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya selalu dalam kesedihan, bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
"Ica, belikan ibu sabun mandi di warung depan!" kata ibuku sedikit berteriak dari dapur, aku langsung mengenakan kerudung dan bergegas menuju ke warung yang letaknya tidak jauh dari rumah.
"Baik bu," jawabku.
Aku orang yang pemalu, sedikit bicara dan tidak banyak bergaul. Setiap kali bertemu tetangga di rumah aku juga tidak begitu ramah, hanya sekedar senyum dan sapa, salah satu cara untuk menghindari banyak pembicaraan yang tidak aku suka.
Aku berjalan dengan santai menuju ke warung, seorang ibu-ibu kebetulan lewat dihadapanku.
"Ca, tumben ada di rumah, lagi libur kerjanya?", kata ibu itu dengan ramah.
"Iya bu Siska, kebetulan libur lama karena ada tanggal merah juga," jawabku sambil tersenyum.
"Eh bentar lagi Indonesia 2024 kok kamu masih jadi buruh pabrik aja?", tanyanya sedikit menyindir.
"Nggak papa bu, yang penting halal," kataku.
"Anak saya sekarang udah lulus kuliah, kerja di kantor jadi asisten manager tahun depan 2024 anak saya juga mau nikah, kamu kapan?" tanya nya lagi.
"Alhamdulillah kalo gitu, Ica ikut seneng dengernya, nanti Ica juga nikah kalo sudah waktunya," jawabku sambil tersenyum yang dipaksakan.
"Cepetan loh anak perempuan nggak boleh ketuaan nanti nggak laku," pungkas ibu itu lagi, kali ini kesabaranku mulai mengendur.
Aku menarik nafas dalam-dalam sambil mencoba menahan gejolak amarah sebelum menjawab perkataan ibu itu, aku takut nanti aku malah berkata kasar, "Bu Siska maaf ya, Ica mau beli sabun dulu sudah ditunggu sama ibu di rumah," kataku sambil berjalan dengan langkah cepat tanpa mendengar apapun jawaban dari ibu itu.
Apa yang terjadi hari ini tidak hanya terjadi satu kali, kadang hal serupa juga ditanyakan oleh orang yang berbeda, nenekku menjadi salah satu diantaranya. Aku cukup kesal ketika ditanya kapan nikah? Atau perkataan lain seperti "Sudah nikah aja daripada capek kerja," memangnya kalau sudah nikah aku nggak akan capek?
Aku sadar kini usiaku sudah 21 tahun, rata-rata teman sekolahku kebanyakan hampir sudah menikah ada juga yang sudah mempunyai anak, tapi aku tidak merasa iri dengan hal itu, aku juga merasa bahwa memang aku belum pantas untuk menikah entah Indonesia yang sebentar lagi 2024, 2025, atau bahkan seterusnya walaupun aku sudah siap tapi kalau kata Allah belum waktunya aku bisa apa?
Saat ini yang ingin kulakukan hanya satu, wujudkan mimpi dan harapan untuk banggakan orang tua. Sederhana, tapi tak mudah. Terkadang di tengah perjalanan aku hampir menyerah, aku mulai putus asa, apa mimpiku benar-benar akan menjadi nyata?
"Ibu.. Ayah.., Ica ingin melanjutkan kuliah kebetulan Ica sudah mendaftar di salah satu universitas swasta di kota, Alhamdulillah Ica di terima," kataku di tengah heningnya suasana makan malam bersama.
"Nanti kerjaan kamu gimana? Sanggup kuliah sambil kerja?" tanya ibuku sedikit khawatir.
"In syaa Allah Bu nanti Ica coba bagi waktu, pasti nggak akan mudah tapi Ica ingin gapai cita-cita Ica. Ica ingin lanjut kuliah," jawabku dengan berkaca-kaca. Ayahku tidak bergeming, ia hanya memandangi makanan di piring yang tersaji, tidak lama kemudian ia membuka mulut untuk memulai pembicaraan.
"Ayah terserah kamu aja," katanya singkat.
"Makasih Yah, makasih Bu. Doakan Ica supaya bisa fokus kerja sambil kuliah," ucapku kegirangan.
"Kalau kamu sambil kuliah nanti gaji kamu cukup nggak buat bayar biayanya?" tanya ibuku.
"In syaa Allah gaji Ica pasti cukup Bu, tapi mungkin nanti Ica nggak bisa kasih banyak buat Ayah sama Ibu karena harus dibagi-bagi untuk biaya kuliah juga,"
"Ya sudah terserah kamu saja, ibu cuma ingin kamu jaga kesehatan, kerjaan kamu berat nanti ditambah kuliah pasti lebih capek jadi jaga kondisi kamu,"
"Iya Ibuuuu," kataku sambil tersenyum.
***
Waktu telah berlalu, perjuangan dan pengorbanan serta sepak terjal kehidupan terus menerus datang bergiliran. Aku pikir mereka ada untuk mendewasakan, tapi ternyata melewatinya tidak semudah yang orang lain katakan. Lelah, aku hampir menyerah, ternyata bekerja sambil kuliah tidaklah mudah. Tapi karena aku sudah memulai maka aku harus selesaikan.
"Ca, kamu kan udah kerja, gaji juga lumayan tapi kok ponsel kamu nggak pernah ganti? Coba deh beli Iphone yang lagi ngetrend sekarang," ucap Elin teman kerjaku. Elin adalah salah satu teman dekatku di tempat kerja, tapi gaya nya yang sedikit glamour terkadang membuatku sedikit merasa minder berteman dengannya.
"Nggak papa Lin, ponsel ini kenang-kenangan dari gaji pertamaku kerja, nggak mungkin kan aku ganti yang baru padahal dia sudah berjuang dan menemaniku dari nol," jawabku.
"Ah lebay! Sekarang itu udah jaman transformasi digital Ca, semua orang itu beralih pakai Iphone, android mah jaman dulu," kata Elin dengan suara yang sedikit keras membuat orang-orang yang sedang menikmati jam makan istirahat terganggu, semua menoleh ke arah kami secara bersamaan. Aku dan Elin hanya menunduk dan merasa malu.
"Tuhh kan kamu kalau ngomong kayak petasan tahun baru, nggak ada pelannya, apa jangan-jangan waktu lahir kamu nelen toa masjid ya?" tanyaku mengejek sambil tersenyum.
"Dih apaan sih, kamu mah mengalihkan pembicaraan," ucap Elin cemberut.
"Denger ya Lin, selagi ponsel ini masih bisa aku pake aku nggak akan ganti yang baru, lagi pula gajiku sekarang harus dibagi-bagi untuk biaya kuliah juga. Jadi nggak perlu lah aku mikirin transformasi begituan, itu mah paling cuma buat pamer aja kebanyakan," kataku, Elin hanya manggut-manggut sambil menyantap makanannya.
***
Hari berlalu dengan cepat, aku merasa waktu seperti tidak terasa seperti 24 jam, apa waktu semakin berkurang setiap harinya atau karena jadwalku yang terlalu padat?
Sekarang aku adalah mahasiswa semester 6 dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di salah satu universitas swasta di kota bernama Institus Bina Merdeka. Kampus yang diperuntukkan bagi mahasiswa kelas karyawan sepertiku memang cukup tidak menyulitkan mahasiswanya, tapi tetap saja niatku di awal bukan sekedar datang lalu pergi, tapi niatku untuk menuntut ilmu, dan semoga di tempat ini menjadi jalanku untuk menggapai mimpi.
Tugas perkuliahan mulai menumpuk setiap minggu, aku harus memutar otak agar bisa menyelesaikan tepat waktu, tapi tetap saja otakku tak sepintar Elbert Einstein, akalku tak secanggih robot, dan fisikku tak sekuat baja, mengeluhpun tak jarang aku lakukan.
"Semangat wahai diri, tinggal beberapa langkah lagi," lirihku dalam hati saat melangkah masuk menuju area kampus.
***
"Alisa Humairah," panggil seseorang dari luar kelas.
"Iya Pak?" tanyaku mendekat.
"Bapak ingin bicara dengan kamu di ruangan Bapak!" perintah orang itu, aku langsung mengkutinya di belakang.
Setelah tiba di ruangan bapak tadi, aku mulai sedikit gugup sepertinya ada hal penting yang ingin beliau bicarakan. Beliau adalah Pak Ardi kepala Prodi di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
"Apa yang bisa Ica bantu Pak?" tanyaku mencoba memulai pembicaraan.
Pak Ardi duduk di kursinya sambil membuka beberapa dokumen.
"Kamu sudah semester enam seharusnya sekarang mulai fokus kuliah, jangan cuma hadir di hari kamu libur kerja terus kerjain tugas udah gitu aja. Sebentar lagi kegiatan di semester akhir itu semakin padat, sekarang harusnya kamu bisa fokus di salah satu, kerja atau kuliah. Bukan bapak ngelarang kamu kerja, tapi bapak itu yakin sama kamu, kamu itu bisa, kamu punya bakat, kalau kamu fokus kuliah kamu bisa aktif di organisasi. Jadi, sekarang bapak tanya sama kamu, kamu mau fokus dimana kuliah atau kerja?" kata Pak Ardi panjang lebar.
Aku memutar bola mataku mencoba berfikir lama sekali sampai aku berani berkata padanya, "Baik Pak, Ica tau sekarang harusnya lebih fokus ke perkuliahan. Waktu Ica juga tinggal setahun lagi disini jadi paling tidak harus ada kenangan yang bisa Ica ingat sampai lulus nanti. Makasih Pak sudah mengingatkan," ucapku sendu. Berat memang tapi aku harus memilih, karena aku sudah memulai maka harus aku selesaikan, dan mungkin saat ini aku harus lebih fokus pada perkuliahan.
Satu minggu setelah pengajuan pengunduran diri dari tempatku bekerja, aku diizinkan dan kini aku menjadi seorang pengangguran, pengangguran yang punya banyak mimpi, pengangguran yang masih belum tahu jalan untuk meraih tujuan. Tidak jarang orang-orang di sekitar jadi lebih sering bergosip tentangku, tentang aku si pengangguran yang di rumah cuma sekedar numpang makan dan tidur.
Lagi-lagi nenekku terus membujukku untuk menikah, Ibu dan Ayahku mulai ikut terbawa suasana, mereka juga jadi sering menanyaiku kapan nikah? Usiaku sekarang sudah 25 tahun jadi tidak heran jika orang tuaku membujukku untuk segera menikah, tapi aku bisa apa kalau aku belum siap?
"Caaa, nikah itu nggak nunggu harus siap, kalau nggak disiapin dari awal mau sampai kapan nunggu buat siap?" pungkas ibuku sembari duduk di atas ranjang kasur.
"Bu, sabar ya Ica ingin selesaikan kuliah dulu baru nikah, Ica pengen jadi orang sukses supaya nggak jadi beban pasangan hidup Ica nantinya," jawabku.
"Menikah itu untuk saling melengkapi, nggak akan ada yang namanya beban dalam rumah tangga yang dipikul masing-masing, semua harus dipikul bersama-sama supaya lebih ringan,"
"Tapi Bu, Ica pengen fokus ke Ayah sama Ibu, nanti kalau Ica nikah tapi Ica belum balas budi orang tua nanti Ica merasa punya hutang yang belum dibayar,"
"Caa, Ayah Ibu nggak pernah berharap lebih dari kamu, kami cuma ingin kelak nanti akan ada yang menggantikan Ayah dan Ibu untuk jagain kamu, jadi kalau kamu belum bisa balas budi orang tua itu juga bukan hutang kamu, karena kita sebagai orang tua tidak pernah menuntut balasan dari anak,"
"Tapi Buuu, Ica masih belum terfikirkan untuk nikah sekarang, Ica juga belum menemukan orang yang mau menerima Ica apa adanya, nanti kalau Allah sudah pertemukan orangnya Ica yakin pasti Allah akan persatukan di waktu yang tepat. Ibu yang sabar ya tunggu Ica sampai lulus," kataku sambil menahan air mata yang sudah hampir menetes.
***
Detik, menit, terus berdetak. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Detik-detik menegangkan mulai dirasakan seluruh mahasiswa-mahasiswi kampus Bina Merdeka, pasalnya hari ini adalah hari wisuda bagi kami.
Satu persatu-satu telah maju dan melakukan penyematan wisuda. Aku masih tidak menyangka aku telah lulus menjadi seorang sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia. Tapi menjadi seorang sarjana saja tidak lantas membuatku berhenti meraih mimpi, karena mimpi-mimpiku masih terbentang di langit yang tinggi, ini hanya awal dan belum berakhir.
Ayah dan Ibuku menangis terharu, memelukku dengan bangga dan kami bertiga berpose bersama dengan tawa bahagia. Oh sepertinya aku lupa, karena ada satu orang yang ingin bergabung bersama kami. Dialah seorang laki-laki yang Allah hadirkan untukku.
"Ayah, Ibu perkenalkan dia Azril calon menantu kalian," kataku sambil tersenyum, Azril disampingku ikut tersenyum.
"Alhamdulillah lengkap sudah bahagiamu di hari ini nak," ucap Ibuku sambil memeluk erat tubuhku, ayahku menyapa Azril dan memeluknya dengan erat. Kami berempat berpose bersama, bahagia telah terukir di wajah kami, hangat dan penuh makna. Tapi kisah ini belum berakhir. Sang peraih mimpi masih harus terus berjuang menggapai mimpinya.
-End-
Terima kasih ^_^
0 Response to "Cerpen: Sang Peraih Mimpi"
Posting Komentar