Tentang Rasa (Part 3)

Tahukah kamu? 

Aku hanya bisa melihatmu sambil memandangimu dengan penuh kekaguman lalu berfikir apa aku pantas mencintaimu? Terlebih dengan segala kekuranganku, aku tidak mampu untuk mengungkapkan. Karenanya rasa itu tetap tersembunyi dalam hati.

Kini, saat aku melihatmu kembali dari jauh. Aku hanya bisa memandangi dengan wajah kesedihan, karena tawamu berasamanya telah meruntuhkan segala harapan. 

Harapan untuk bisa bersamamu hanya tinggal kenangan... 

-p216-

-----------

Alifa menggebrak meja cukup keras saat ia melihat siapa pria yang memasuki ruangan. Dengan semburat mata tajam Alifa melihat kehadiran pria itu bagaikan harimau betina yang siap menerkam mangsa. Sementara pria yang ia tatap ikut menatap balik Alifa dengan heran.

"Kenapa Al?" tanya Nirmala ikut terkejut karena gebrakan meja Alifa, ia heran melihat tingkah sahabatnya.

"Nggak kenapa-napa kok, tadi aku mendalami peran aja habis baca novel di internet," jawab Alifa dengan sedikit mengeraskan suara dengan sengaja agar di dengar banyak orang dengan begitu tidak ada yang merasa heran padanya.

"Alifaa.. Alifaa.. Kirain aku kamu salah tingkah gara-gara ada dosen ganteng," celetuk Ferdi yang duduk di belakang Alifa, yang lain ikut tersenyum, sementara pria yang baru saja masuk itu hanya diam sambil membuka lembaran buku.

"Perkenalkan semuanya, saya disini dipercaya Pak Roni untuk menggantikan beliau sementara waktu, sehubungan karena beliau sedang ada keperluan di luar kota selama beberapa hari," jelas pria itu sambil mengamati semua orang. Yang lain menyimak dengan seksama.

"Oke tanpa basa basi, nama saya Akbar Maulana Fikri, kalian bebas mau panggil saya dengan nama mana yang jelas jangan panggil saya dengan sebutan bapak karena saya masih muda dan bukan bapak-bapak" lanjut pria itu dengan penekanan di kata terakhir, matanya melirik ke arah Alifa yang mulai salah tingkah.

"Kalau panggil ayang boleh nggak?" celetuk Dinda, diikuti gelak tawa para mahasiswi.

"Nggak boleh! Itu terlalu lebay," jawab pria yang bernama Akbar Maulana Fikri itu. 

"Udah nikah belum?" celetuk mahasiswi lain.

"Saya masih single, belum ada calon juga jadi kalau mau daftar silahkan hubungi nomor di bawah ini," jawab pria itu sambil bergurau, yang lain ikut tertawa kecuali Alifa. Saat ini perasaannya kalut, karena ternyata pria itu adalah pria  yang ia marahi saat di ruang bendahara. Alifa terus menunduk sambil sesekali mengalihkan wajahnya ke arah lain.

"Oke cukup ya perkenalannya?"

"Jadi panggilnya siapa nih kalau panggil bapak nggak boleh kita kan sudah terbiasa memanggil dosen dengan panggilan pak?" celetuk Ferdi.

"Panggil saja saya dengan sebutan kakak,"

"Dosen kok nawar," gumam Alifa dalam hati.

"Kebetulan saya sebenarnya masih kakak tingkat kalian di semester lima. Saya baru pindah kesini karena ada sesuatu hal, saya juga mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia jadi kalau kalian butuh bantuan apa-apa nanti cari saya aja, kalau saya bisa nanti saya bantu," lanjutnya.

Kelas berjalan dengan lancar, rata-rata penghuni kelas merasa puas dengan cara penyampaian yang disampaikan Akbar. Tidak terkecuali dengan Alifa. Diskusi kali ini lebih hidup dan hampir semua orang ikut berantusias dalam menyampaikan pendapatnya.

"Oke semuanya sebelum saya meninggalkan kelas, penanggung jawab mata kuliah Pak Roni siapa?" tanya Akbar.

"Alifa kak", jawab Nirmala penuh semangat, sementara Alifa mengangguk mengiyakan.

"Kamu ikut saya ke ruang dosen sebentar!" perintah Akbar tegas, Alifa merasa ketar-ketir takut jika nanti Akbar mengungkit soal kejadian di ruang bendahara.

"Baik kak," jawab Alifa.

Setelah di ruang dosen...

"Saya dapat amanah dari Pak Roni nanti untuk masalah teknis tugas yang beliau pesan nanti kamu seleksi dari tugas semua orang, kalau memenuhi kriteria yang sudah ditentukan dalam catatan nanti kamu pisahkan dengan yang belum memenuhi kriteria," jelas Akbar sambil menyerahkan lembaran kertas berisi catatan.

"Baik Pak. Eh Kak!" jawab Alifa keceplosan.

"Begini ya ibu-ibu pengajian bukan maksud saya nggak suka dipanggil bapak, tapi saya itu risih karena situasinya saya juga mahasiswa di kampus ini, kalau semua teman-teman baru saya ikut manggil bapak saya malu," jelas Akbar penuh penekanan, Alifa menunduk sambil manggut-manggut. Ia baru menatap Akbar setelah ia mencerna kalimatnya.

"Loh kok ibu-ibu pengajian?" tanya Alifa dengan kening berkerut karena terkejut.

"Ya biarin kalau kamu panggil saya bapak, saya bakal panggil kamu ibu pengajian," ancam Akbar dengan ekspresi datarnya, saat itu kebetulan ruang dosen sedang sepi.

"Jangan begitulah Pak, masa baperan?" bujuk Alifa.

"Tuh kan bapak lagi!"

"Astaghfirullah ribet banget sih manusia satu ini," pekik Alifa dalam hati sambil menghembuskan nafas kasar. Sambil mengepalkan tangan menahan emosi Alifa mengangkat suara, "Maaf Kak Akbar Maulana Fikri, saya terbiasa memanggil dengan sebutan bapak karena saya juga mengajar di sekolah, jadi mohon di maklumi," kata Alifa dengan suara lembut tapi penuh penekanan karena kesal.

"Terserah aku nggak nanya," kata Akbar sambil berlalu pergi, meninggalkan Alifa yang mulai kehabisan kesabaran.

"Kok ada manusia kayak begitu ya Allah..." keluh Alifa sambil menghentakkan kakinya ke lantai melihat Akbar yang pergi begitu saja meninggalkannya.

"Dasar si manusia ribet nanti sampe tua juga nggak akan mau tuh dipanggil bapak!" Pekik Alifa dengan suara lantang tiba-tiba Pak Ahmad masuk dan menganggap Alifa sedang mengatainya.

"Eh Alifa berani ya kamu ngatain saya begitu!"



.

.

Bersambung... 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tentang Rasa (Part 3)"

Posting Komentar