Cerbung: Kekasih Pilihan (End)

 

Edit by: Canva

Part 6 (End) 

Suatu hari, aku pernah mencintaimu dengan penuh ambisi. Berharap suatu hari nanti kamu dapat kumiliki.

Suatu hari, aku pernah merasa begitu cemburu dengan seseorang yang begitu dekat denganmu. Dulu dan sekarang aku bahkan tak rela jika kamu bersama dengan orang lain.

Aku memang sejahat itu. Tapi tau kah kamu meski aku tak rela tapi tetap saja rasa itu terus tersembunyi dalam relung hati yang gelap tak berpenghuni.

Bukan aku yang terlalu pengecut untuk mengatakan bahwa aku cinta kamu. Tapi aku yang terlalu menyadari, bahwa aku tak pantas untukmu. Jika saat ini tak pantas maka selamanyapun akan seperti itu.

Jadi kupikir cintaku tak berhak untuk memaksamu memilihku... 

***

Mendengar kata Azzam dari ayahku, aku dengan spontan menyapa sosok yang dipanggil ayah barusan. 

"Azzam?" timpalku saat mendengar suaranya.

"Iya Nad?" tanya Azzam berbalik ke arahku.

"Kamu kenal sama Papa?"

"Bisa dibilang begitu," kata Azzam tersenyum ke arah Papa, Papa ikut tersenyum menimpali.

"Kamu kalau nolak dijodohkan Papa tidak masalah tapi kalau ujungnya sama Azzam ya buat apa ada perjodohan?" kata Papaku terkekeh pelan, Azzam hanya tersipu, mamaku juga ikut tersenyum. Aku mulai bingung. Aku tidak mengerti maksud mereka, aku langsung mendekat ke arah mereka dan duduk di kursi yang kosong dipapah oleh mamaku.

"Azzam itu anak temennya Papa," lanjut Papaku, aku manggut-manggut mencoba mengerti pantas saja mereka terlihat begitu akrab.

"Kamu masih belum faham?" tanya Papaku kali ini ia lebih serius.

"Faham kok Pah, pantas saja kok akrab sekali," kataku. 

"Azzam ini yang mau Papa jodohkan dengan kamu," celetuk mamaku aku langsung melihat ke arah Azzam yang menatapku. Kenapa dunia begitu sempit? Aku bahkan belum sempat berduka atas kepergian Ari.

"Ariii," ucapku lirih sambil terisak saat kembali aku ingat kalau Ari sudah tidak ada. Aku berlari ke kamar, Azzam ingin mengejarku tapi ragu, mamaku meyakinkan Azzam untuk mengikutiku. Aku terduduk lemas sambil menyandarkan kepala di ranjang, aku lupa mengunci kamar, Azzam masuk dengan lembut ia menyemangatiku.

"Menangislah Nad, lepaskan semua sesak yang kamu tahan selama ini. Tapi ingat, mau sebanyak apapun air mata menetes semua tidak akan merubah keadaan," kata Azzam. Aku menatap wajahnya lekat-lekat, seseorang yang ada dihadapanku ini bukan Ari tapi kenapa dia sangat peduli? Kenapa kata-katanya membuatku tenang padahal hatiku sedang kalut karena kehilangan. 

"Zam antar aku ke makam Ari," pintaku pada Azzam dengan lirih. Azzam mengangguk mengiyakan.

Setelah itu aku sampai di sebuah pemakaman umum di dekat daerah Ari tinggal. Aku menatap nisan yang tertulis nama Ari Firmansyah, kembali air mata itu menetes dengan deras, aku terduduk lemas sementara Azzam merengkuhku untuk menahan tubuhku yang hampir lemas.

"Ariii! Kamu penipu! Kamu bilang akan mengundangku dipernikahanmu! Kamu bilang akan hadir dipernikahanku! Kamu bilang kita berlima akan berfoto bersama dengan pasangan masing-masing! Kenapa kamu disini Ari? Kenapa? Satu kalimatpun kamu tidak pernah menanyakan kabarku, kupikir kamu sudah bahagia bersama Sekar, untuk itu aku mengalah. Tapi kenapa Ari? Kenapa kamu harus seperti ini? Kenapa Ari?" isakku di tengah tanah pemakaman yang sepi. Azzam mengelus bahuku yang mulai gemetaran. 

"Ari maafkan aku, aku belum sempat berpamitan saat pergi merantau. Tapi kenapa kamu juga membalas dendam dan tidak berpamitan sebelum pergi, kenapa Ari? Apa cuma aku yang tidak tau kalau kamu pergi? Ari jawab aku!" tangisku pecah aku tidak sanggup lagi menatap pusara Ari yang sudah ditumbuhi rerumputan kecil, Ari sudah pergi sejak setahun yang lalu.

"Ariiiiiii!!!" Azzam langsung membawaku pergi, aku meronta menolak Azzam tapi Azzam merengkuh tubuhku dengan kuat.

"Zam.. Ari Zam... Bangunin Ariii," kataku pada Azzam sambil terus terisak, Azzam melihatku dengan iba ia memeluk tubuhku dengan erat sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

"Ikhlas Nad, Ari sudah bahagia disana," kata Azzam. Aku masih terus saja menangis dalam pelukannya. "Aku mau Ariii Zam, aku mau Ariii," ucapku terus seperti itu.

***

Hari-hari kemudian berlalu, perjodohan antara aku dan Azzam dilanjutkan, dan kini acara pernikahan sedang dilangsungkan. Hari ini orang asing yang mengagumiku dalam diam menjadi jodohku, namun orang terdekat yang aku kagumi telah Allah panggil. Aku tidak tahu haruskah aku tersenyum bahagia karena menemukan seseorang yang mencintaiku, atau harus menangis karena kehilangan seseorang yang aku cintai. Terlepas dari semua itu, kini Ari hanya masalalu masa depanku adalah seseorang yang sekarang berdiri tegak disampingku dengan senyum yang begitu tulus saat menatapku. Satu hal yang ingin aku katakan padanya, maaf.

"Azzam Fikri Maulana, aku minta maaf karena telah menaruh hati pada orang lain sebelum kamu," kataku pada Azzam, Azzam membalasku sambil tersenyum. Kini personil kami bertambah satu orang, sekaligus kehilangan satu orang.

"Cissss," semua orang termasuk Arman, Fatur dan Irham tersenyum di depan kamera. 


Jika pertemuan harus berakhir dengan perpisahan, lantas perpisahan seperti apa yang lebih menyakitkan dari kematian?

Jika pertemuan harus berakhir dengan meninggalkan banyak luka, lantas luka seperti apa yang lebih menyakitkan dari ditinggal mati oleh orang yang kau dambakan?


-End-


Terima kasih ^_^

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerbung: Kekasih Pilihan (End) "

Posting Komentar