CERPEN: Mencintai Dalam Diam

Pict by voi.id


Mencintai dalam diam adalah sebuah pilihan. Tidak semua orang dapat memendam rasa cinta, tidak semua orang dapat menyembunyikan perasaannya, terlebih saat berhadapan langsung dengan orang yang ia cintai. Mencintai dalam diam memiliki resiko yang berat, entah berakhir sebagai cinta sepihak atau mungkin berakhir hanya sebatas persinggahan saja.

Katanya mencintai tidak harus memiliki, hanya dengan melihat orang yang dicintainya bahagia ia pun akan turut bahagia, tapi bukankah itu tidak adil?

Ketidakadilan itu yang aku alami saat ini. Sebuah rasa sepihak yang telah kusembunyikan dari mata dunia hingga empat tahun lamanya. Aku mencintai seseorang yang karena dia aku semangat untuk belajar, aku semangat untuk memperbaiki diri, dan aku semangat untuk lebih dekat dengan Tuhanku yang Maha Tinggi.

Aku ingat kisah saat Zulaikha mengejar cinta Yusuf, Yusuf menjauh darinya. Namun, saat Zulaikha mengejar cinta Allah, Allah datangkan Yusuf untuknya. Mungkin ini adalah bagian dari usaha yang sedang kulakukan.

Menjadi seorang pecundang dengan menyembunyikan rasa cinta, itulah aku. Tidak pernah sekalipun lisan ini berani berucap padanya bahwa "Aku Cinta". Selalu terbesit dalam benakku, seandainya jika aku mengungkapkan perasaanku, mungkinkah aku dan dia sudah menjadi kita sejak dulu?

Kisah cinta itu belum dimulai tapi sudah berakhir duluan. Aku menyadari segala kekuranganku, segala keterbatasanku, dan aku bukanlah wanita yang cantik dan rupawan, sehingga membuatku merasa tidak cukup pantas berhadapan dengannya. Jadi, aku memilih memendam rasa dan menitipkannya ke dalam ruang hati yang paling dalam. Berharap, agar kelak perasaan itu tidak membuatku kecewa. 

Hari ini, saat kembali berhadapan dengannya jantungku berdetak ribuan kali lebih cepat dan hampir lepas dari tempatnya. Aku mungkin terlalu lebay, atau bahkan terlalu mendramatisir keadaan, tapi aku tidak bisa bersikap biasa-biasa saja dihadapan dia.

Dia yang kutatap hingga harus mendongakan leherku, dia yang berdiri dihadapanku dengan senyum yang terukir dari wajahnya, satu hal yang terlintas dalam benakku saat itu, "Apa kamu baik-baik saja?"

Setelah empat tahun aku dan dia bersama dalam bangku kuliah dengan jurusan yang sama, kami berdua bagaikan sepasang sandal jepit yang tidak bisa terpisahkan, orang-orang bahkan mengira kalau kami memiliki hubungan lebih dari sekedar teman tapi pada kenyataannya, memang hanya teman.

Namanya Zidan, pria tinggi dengan IQ dan EQ di atas rata-rata mahasiswa satu kelas, dia telah menjadi idola bagi kaum hawa di kampus. Sikapnya yang ramah kadang membuatku merasa takut kehilangan, padahal aku tidak memilikinya.

Hari ini setelah satu tahun kami lulus, ini adalah pertama kali kami bertemu. Zidan menghubungiku lewat pesan di sosmed karena kami sudah kehilangan kontak whatsap sejak lama, katanya ia ingin membicarakan sesuatu hal yang penting, aku yang memang sudah rindu hanya bisa mengatakan "Ya" tapi dalam hati aku bersorak gembira, akhirnya rinduku akan terbalaskan.

"Fa, apa kabar?". Tanya Zidan singkat membuka pembicaraan. Aku sekilas menatapnya dan kemudian beralih pandangan ke arah hiruk pikuk manusia di keramaian Mall, saat itu kami berdua membuat janji temu dengan teman-teman kampus di Mall. 

"Baik, kamu sendiri bagaimana? Pasti sudah nikah?", tanyaku sambil tersenyum getir, entah kenapa pertanyaan semacam itu langsung terucap begitu saja.

"Baik kok Fa. Kata siapa aku sudah nikah? Mungkin kamu yang sudah nikah?", tanyanya balik. Kami berdua berdiri di samping pagar pembatas tepatnya di lantai tiga.

"Belum menemukan jodoh jadi gimana mau nikah", jawabku tanpa ekspresi. Ada sesuatu yang terasa begitu mengganjal hati. 

"Kebetulan, aku juga lagi cari jodoh. Kamu mau tidak jadi jodoh aku?", kata Zidan sambil tersenyum ke arahku. Melihatnya aku yakin pasti ia hanya bercanda. Zidan yang hobi bercanda sudah tidak aneh jika ia selalu membuat gombalan-gambalan nyeleneh semacam itu. 

"Siapa sih yang tidak mau berjodoh dengan sosok Zidan Alamsyah, mahasiswa dengan gelar comlaude dan punya banyak penghargaan? Kalau kamu pilih aku, artinya kamu sedang bercanda," kataku penuh penekanan sambil tersenyum ketus berusaha menahan diri untuk tidak salah tingkah. Bagaimanapun juga perkataan Zidan membuatku sedikit dag-dig-dug tidak karuan. 

"Aku tidak bercanda Fa," kata Zidan tulus. Sontak aku langsung menatap matanya untuk mencari titik yang kemungkinan bahwa ia sedang bercanda, tapi semburat di matanya mengatakan kalau dia jujur dengan apa yang diucapkan.

"Kamu yakin tidak bercanda?"

"Aku Zidan Alamsyah, hari ini, detik ini, aku ingin bertanya, Alifah apakah kamu mau menjadi bagian dari hidupku? Apa kamu mau bersama-sama membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah bersamaku? Apa kamu menerima segala kekuranganku dan menjadi penyempurna imanku? Apa kamu mau menjadi pelabuhan terakhir untuk kutitipkan hatiku?", ucap Zidan mantap sambil menatapku lekat. Orang-orang yang kebetulan lewat melirik ke arah kami. Kami berdua menjadi perhatian publik sekarang. 

"Aku tidak bisa berkata apa-apa, tapi aku tidak bisa untuk menjawab tidak, karena dari dulu aku sudah cinta, dari dulu hanya kamu orang yang selama ini aku tunggu," jawabku sambil berkaca-kaca, setetes air bening mulai meluncur bebas di pipi aku spontan menutupinya menggunakan kedua telapak tangan.

Aku tidak menyangka akan sebegitu indah perjalanan cinta yang telah kusembunyikan setelah sekian lama. Kami berdua tersenyum penuh haru dan bahagia. 

-END-

#cerpen
#cintadalamdiam

Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "CERPEN: Mencintai Dalam Diam"

  1. Akhir kisah cinta yang sungguh membahagiakan. ❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngga ada konfliknya sama sekali wkwkwk

      Hapus
    2. Aku kadang juga bikin cerpen tanpa konflik kak ... 😊👍

      Hapus
  2. Hm,, kok aku bacanya berasa jadi Alifah ya. Bikin senyum2 deweee🤭

    BalasHapus