CERPEN: Menuju Tak Terbatas Dan Melampauinya

Bagaimana jadinya jika seorang mahasiswi sastra Indonesia sibuk bekerja sebagai buruh pabrik?Bukannya sibuk dengan dunia tulis menulis ia justru disibukkan dengan kegiatan sebagai operator produksi. Jelas itu bukan bidangnya, bukan pula sesuatu yang sejalan dengan statusnya sebagai mahasiswi, tetapi jika semua itu dilakukan karena keharusan maka akan wajar-wajar saja. Namun, pendapat setiap orang akan berbeda dan dari orang-orang itulah cobaan demi cobaan mulai bermunculan.

Safa terlahir dari keluarga sederhana, dilahirkan sebagai anak pertama dan memiliki seorang adik laki-laki yang masih duduk di sekolah dasar. Tuntutan sebagai anak pertama membuatnya merasa harus bertanggung jawab, bukan hanya memenuhi kebutuhan adik ia juga harus membantu kedua orang tuanya yang usianya sudah semakin menua.

Safa masih memiliki seorang nenek yang pemikirannya cukup kuno, menganggap bahwa anak perempuan tidak butuh kuliah. Safa selalu didesak neneknya untuk menikah daripada harus sibuk dengan pendidikan.

Terlepas dari semua pertentangan dan tidak didukung untuk melanjutkan pendidikan, Safa tetap berhasil melanjutkan pendidikannya. Meski harus menunda selama beberapa tahun. Beberapa teman sebayanya sudah banyak yang lulus kuliah. Beberapa diantaranya juga sudah banyak yang menikah, memiliki satu atau dua anak. Ada pula yang sudah sukses dalam bidang usaha masing-masing.

"Perempuan itu nantinya akan sibuk di dapur, belajar masak, mengurus suami. Jadi, buat apa kuliah? Sekarang, buktinya kamu harus bekerja ujung-ujungnya tidak perlu gelar sarjana, terus buat apa kamu kuliah?" Nenek Safa menasehati, tetapi terdengar seperti pemutus harapan Safa. 

"Perempuan juga harus belajar, Nek. Memasak butuh belajar, mengurus suami juga butuh belajar. Menikah bukan perlombaan yang harus Safa kejar secepat mungkin. Walaupun Safa kuliah, tetapi Safa tidak membebankan orang tua untuk membayar biaya kuliah Safa. Sampai sekarang, Safa juga masih bisa bantu orang tua, kan?" Safa menjawab dengan mata yang berkaca-kaca. 

"Terserah kamu! Toh, kamu juga yang jalanin sendiri. Kalau saran nenek, kamu lebih baik menikah. Tuh, lihat teman-temanmu sudah banyak yang menikah." Kata nenek safa sambil menunjuk secara asal. Safa menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Tanpa membalas sepatah katapun ia berlalu begitu saja, takut emosinya meledak tiba-tiba. 

Safa sibuk bekerja setiap hati senin sampai dengan jum'at, karena mengambil kelas karyawan, ia hanya kuliah di hari sabtu dan minggu. Tidak ada hari libur untuknya. Cukup melelahkan, ia bahkan sering jatuh sakit ketika beban tugas kuliah dan pekerjaan menumpuk. 

"Kamu tidak capek Safa? Kuliah sambil kerja?" Tanya teman kerja Safa di sela-sela waktu istirahat makan siang. 

"Jangan ditanya, capek itu pasti, tapi mau bagaimana lagi?" Jawab Safa sambil menyantap makan siangnya. 

"Kamu mahasiswi sastra, kok pilih kerja di pabrik?" Celetuk teman Safa yang lain. 

"Terlepas nanti aku mau jadi apa, sekarang aku cuma menjalani apa yang harus aku jalani. Aku butuh uang buat biaya kuliah, aku juga butuh uang buat kebutuhanku, orang tua dan juga adik," Safa menjawab dengan santai. 

"Iya juga sih, cuma aneh saja kalau ujung-ujungnya harus jadi buruh pabrik, ngapain harus kuliah?"

Jlebbb... 
Kalimat itu semakin membuat Safa patah semangat. Tidak hanya ketika di rumah, di tempat kerja-pun orang-orang seakan tidak setuju dengan statusnya. 

"Eh, kamu tidak boleh begitu!" Bunga teman Safa yang lain ikut menimpali. 

"Maaf-maaf, aku tidak bermaksud kok."

***
Sudah dua tahun sejak Safa memutuskan kerja sambil kuliah. Satu demi satu harapan akan mimpinya mulai bisa diwujudkan, salah satunya melanjutkan pendidikan. Namun, ada satu hal yang belum berhasil terwujud. Menjadi penulis best seller yang karyanya menginspirasi banyak orang. 

Sejak sekolah menengah pertama, Safa menyukai dunia tulis-menulis. Ia terus berlatih seiring berjalannya waktu, mencoba mengikuti event menulis dan menerbitkan buku-buku antologi. Buku solonya sendiri belum berhasil diterbitkan. Selain karena kurang percaya diri, Safa juga masih butuh banyak latihan agar banyak orang yang suka dengan karyanya.

"Eh, kamu sudah tahu belum jadwal magang kita di mana?" Celetuk salah satu teman Safa-Meira, di kelas. 

"Belum ada pemberitahuan lebih lanjut," jawab Laras teman Safa yang lain.

"Kira-kira waktu magang kita berapa lama ya? Pasti tidak dibayar juga kan?" Tanya Meira lagi, Safa masih asyik mengetik di laptop, tetapi telinganya masih mendengarkan obrolan kedua temannya. 

"Denger-denger dari kakak tingkat, waktu paling cepet magang di kampus kita selama empat bulan."

"Selama itu? Kerjaan kamu di pabrik gimana Safa?" Meira langsung tertuju pada Safa, mereka tahu kesibukan Safa yang bekerja di pabrik. Safa yang sedari tadi asyik mengetik di laptopnya mendadak berhenti. Ia mematut melihat ke arah laptop di depannya. Pikirannya terbang ke mana-mana, memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang? 

Di hari berikutnya, Safa mulai tidak tenang memikirkan waktu magangnya. Apakah ia boleh tidak mengikuti magang? Tetapi beberapa mahasiswa bilang magang menjadi persyaratan kelulusan di kampus. Apakah atasan di tempat kerjanya akan begitu baik memberikannya masa cuti? 

Setelah menimbang begitu lama, Safa yang mondar-mandir di depan ruang HRD masih menyiapkan kata-kata yang tepat bagaiamana ia harus meminta izin selama masa magangnya nanti. Jika ia berhenti bekerja, bagaimana ia akan membiayai kuliahnya? 

Dengan langkah yang berat, Safa menarik nafas panjang mencoba menghilangkan rasa takut dan mengumpulkan banyak keberanian untuk memasuki ruangan. Ia mengetuk pintu ruang HRD, pelan. Setelah mendapat izin masuk dari seseorang di dalam ruangan, Safa masuk. Membuka pintu perlahan, tersenyum ramah pada orang yang duduk di hadapannya. 

"Ada perlu apa?" Tanya wanita yang jabatannya sebagai HRD di tempat kerja Safa. Terlihat ramah, tetapi suasana sedikit menegangkan. 

"Mohon maaf Buk, sebelumnya. Apakah boleh saya meminta izin selama beberapa bulan?" Safa menjelaskan terus terang. 

"Alasannya?" Wajahnya yang sebelumnya ramah mendadak menakutkan. Bola matanya membulat sempurna saking terkejutnya. 

"Begini, Buk. Saya ada jadwal magang dari kampus, sebetulnya masih belum ditentukan kapan dan berapa lama waktunya. Jauh-jauh hari saya mau meminta izin supaya lebih enak saya menjelaskannya," keringat dingin Safa mulai menetes, ia takut salah mengucapkan kalimat. 

"Kalau begitu, kamu berhenti saja."
Bagai tersambar petir penuturan dari HRD itu membuat Safa kehilangan harapan. 

"Saya masih butuh pekerjaan ini, Buk."

"Kalau begitu, minta izin dari kampus tidak mengikuti magang." Lagi-lagi Safa dibuat semakin bingung, disatu sisi ia butuh pekerjaannya, di sisi lain magang itu wajib dilakukan sebagai persyaratan kelulusan.

"Tapi... Magang ini sifatnya wajib untuk persyaratan kelulusan, Buk."

"Tidak ada pilihan lain, kamu harus berhenti bekerja. Masa izin ada batasnya, kalau kamu mau bekerja di sini lagi, kamu bisa melamar lagi di kemudian hari. Jadi, kami tidak bisa memberi izin selama itu, itu tidak logis. Di manapun yang namanya perusahaan tidak akan memberi masa izin yang lama," jelas HRD itu dengan tegas. Safa semakin putus asa. 

"Baik, Buk. Terima kasih atas waktunya." Safa beranjak pergi dengan hati yang semakin putus asa. 

Bagaimana situasi ini akan berlalu? Gumam Safa, hatinya bergejolak tidak karuan. Pikirannya kalut memikirkan bagaimana ia akan membiayai kuliahnya. 

***
Setelah penuh pertimbangan, Safa memutuskan berhenti dari tempat kerjanya, karena tidak mungkin baginya untuk berhenti kuliah. Mengandalkan beberapa uang tabungan, Safa meyakinkan diri sendiri bahwa ia pasti bisa mendapat pekerjaan sampingan untuk membiayai kuliahnya.

Selama masa magang, Safa tidak digaji. Selama beberapa bulan itu juga ia menghabiskan uang tabungannya, pulang pergi dari tempat magang yang lokasinya cukup jauh dari rumah.

Safa putus asa, tidak tahu bagaimana ia akan membayar biaya semesteran kuliahnya. Namun, ada secercah harapan yang membuat Safa kembali bangkit. Tulisan yang ia kirimkan ke penerbit telah mendapat tawaran untuk diterbitkan. Betapa bahagia Safa setelah mendapat kabar itu. Dengan begitu, ia bisa mendapat uang tambahan untuk biaya kuliahnya. 

Satu dari masalah telah berhasil Safa lalui, kerja kerasnya menerbitkan berbagai tulisan ke penerbit dan media massa berhasil tembus, beberapa bayaran yang ia dapatkan dari tulisannya yang diterbitkan melalui blog pribadi juga cukup membiayai kuliahnya. Namun, masalah lain kembali muncul. 

"Safa, kapan kamu mau nikah?" Tanya nenek Safa padanya yang sedang asyik berkutat di depan laptop, sedang menulis.

"Kalau sudah ada jodohnya, Nek." Jawab Safa santai. 

"Nenek harus menunggu sampai kapan? Lihat, teman-temanmu sudah banyak yang menikah," suara nenek Safa terdengar putus asa. Tapi mau bagaimana lagi, Safa belum terfikirkan ke arah sana. Masih banyak hal yang harus ia raih sebelum memutuskan untuk menikah.

"Nek, Safa akan menikah. Tapi nanti, bukan sekarang. Nenek doakan saja Safa jadi anak yang sukses."

Nenek Safa berlalu tanpa mengatakan sepatah katapun. Safa menjadi semakin serba salah. Mimpinya menjadi seorang penulis hebat belum terwujud. Namun, dalam setahun ini ada satu buku solo yang berhasil diterbitkan. Penjualannya masih standar, artinya belum banyak orang yang menyukai tulisannya. Safa semakin tergugah untuk terus belajar, membuatnya semakin merasa belum pantas untuk memikirkan membangun rumah tangga. Lagi pula usianya baru menginjak 24 tahun, masih banyak perempuan yang seusianya juga belum menikah. 

***
Tahun terakhir masa kuliah Safa telah berada di depan mata. Perjuangan kuliahnya sebagai mahasiswi sastra tidak lama lagi. Asam, asin, manis, pahit tentang kehidupan telah berhasil dilaluinya. Menjadikannya sosok yang lebih dewasa dari waktu ke waktu. Beruntungnya orang tua Safa tetap mendukungnya untuk melanjutkan kuliah, walaupun memang ia harus menanggung biaya kuliahnya sendiri. Tetapi berbeda dengan neneknya yang selalu mendesaknya untuk menikah, dan sering membanding-bandingkan dengan anak tetangga yang sudah menikah. Safa memang tidak cukup dekat dengan neneknya, selain karena jarang bertemu sebab neneknya yang tinggal di rumah yang berbeda, tetapi juga karena neneknya yang selalu mendesaknya untuk segera menikah membuat Safa sedikit tidak senang.

Sampai kemudian tepatnya pada hari minggu, saat itu Safa akan pergi ke kampus. Cuaca sedikit mendung, angin berhembus dengan lembut menerbangkan dedaunan yang jatuh dari pohon, menyebabkan halaman rumahnya penuh dengan sampah daun. Rumahnya cukup sepi karena ayahnya pergi bekerja, ibunya sedang menemani neneknya di rumahnya, sedangkan adiknya sedang main entah ke mana.

Safa baru berjalan beberapa langkah menuju motor beatnya, sembari mengenakan helm ia ingin menyalakan motornya. Tiba-tiba Fahri, adik Safa berlarian ke arahnya.

Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, Fahri berkata pada Safa dengan panik, "Kak, nenek meninggal."

Safa termangu, jantungnya berdebar sangat kencang. Apakah ini hanya mimpi? Lalu, bagaimana caranya ia bisa terbangun dari mimpinya? 

Dengan langkah gontai Safa memastikan berita itu dengan pergi menuju rumah neneknya. Saat berjalan Safa tidak memerhatikan apapun, tidak menghiraukan apapun selain memikirkan, mimpi macam apa ini? 

"Yang sabar ya, Safa." kata ibu-ibu yang seusia dengan ibunya mencoba menegarkan hati Safa yang sedang mendung.

Safa melamun, matanya melihat tubuh yang terbujur kaku terselimuti kain. Neneknya sudah tidak bisa bangun lagi. Neneknya sudah tidak akan bisa mendesaknya untuk menikah lagi. Bukankah ia akan damai setelah ini? Bukankah ia akan lebih fokus lagi meraih mimpi menjadi penulis hebat? 

Setetes air bening itu mengalir dari pipinya, sedikit demi sedikit kemudian semakin meluncur dengan deras. Spontan Safa langsung memeluk erat tubuh yang sudah terbujur kaku itu. Kilas balik tentang neneknya mulai memenuhi isi kepala. Seandainya ia bisa memenuhi keinginan terakhir neneknya, mungkinkah ia tidak akan merasa bersalah seperti ini? 

Safa tergugu di samping jenazah neneknya yang sudah tidak bisa apa-apa. Safa tidak mengatakan sepatah katapun, hanya air mata yang mengisyaratkan seberapa sedihnya ia atas kehilangan nenek satu-satunya.

Jenazah neneknya dikebumikan pukul satu siang. Prosesnya berlangsung dengan cepat, takut hujan akan turun dengan lebat. Cuaca yang mendung ternyata mengisyaratkan sebuah pertanda, pertanda bahwa akan ada kehilangan yang harus diderita, pertanda bahwa bumi-pun merasa kehilangan orang yang dicinta.

Selama ini, nenek Safa seperti orang jahat yang selalu mendesaknya menikah, tetapi sebenarnya itu hanyalah permintaan kecil agar melihat cucunya menikah sebelum ia harus terpanggil pulang dari dunia. Masa-masa berkabung ini harus Safa terima. Sebab, mehilangan akan menjadi momen yang akan selalu manusia alami. 

***
Waktu terus berlalu, tibalah masa Safa diwisuda. Hari yang bahagia tidak bisa ia tunjukkan pada neneknya yang telah pergi.

Safa memandangi kedua orang tuanya satu persatu. Kerutan-kerutan di wajah orang tuanya semakin terlihat, adik semata wayangnya semakin bertambah tinggi. Safa melihat mereka dari balik podium mengucapkan rasa terima kasih atas kelulusannya. 

Suasana semakin terasa haru saat Safa diumumkan sebagai penulis buku best seller. Pemberitahuan itu muncul sebagai bentuk penghargaan mahasiswi terbaik dari kampus. Semua orang bertepuk tangan cukup meriah. Wajah Safa ditampilkan ke layar lebar bersama dengan buku best sellernya. 

Mata Safa semakin memerah, tidak sanggup menahan air mata bahagia yang akan menetes. Kilas balik tentang perjuangannya di masa-masa dulu membuat ia menangis tergugu. Mata dan hidungnya semakin merah, ia tidak bisa menghentikan air mata itu menetes dari pipinya.

Safa berlari ke arah kedua orang tuanya, menangis sambil memeluknya keduanya. Orang tuanya-pun sama, menangis tidak percaya dengan pencapaian yang telah diraih anak perempuannya. Semua yang hadir di acara wisuda ikut terharu. Akhirnya, mimpi Safa menjadi penulis best seller telah diraih, meski jalannya tidak begitu mulus dan penuh liku. 

"Nek, Safa telah menjadi anak yang sukses. Setelah ini, Safa akan menikah sesuai keinginan nenek." Gumam Safa dalam hati. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERPEN: Menuju Tak Terbatas Dan Melampauinya"

Posting Komentar