Tentang Rasa (Part 1)

 Rasa itu ada, hanya saja kamu tak mampu melihatnya

Rasa itu ada, hanya saja aku yang masih dengan rapat menutupinya

Rasa itu ada, hanya saja aku yang terlalu pengecut untuk mengungkapkannya

Karena kamu terlalu sempurna untuk aku yang banyak kurangnya

Karena kamu terlalu baik untuk aku yang biasa-biasa saja

Karena kamu terlalu istimewa untuk aku yang sederhana

-p216-

---

Part 1

Seorang gadis muda berusia 20 tahun itu sedang sibuk memainkan ponsel di genggamannya. Sambil duduk diantara kursi tunggu yang berjejer diantara pojok ruangan, gadis itu manggut-manggut mendengarkan musik. Tanpa aba-aba seseorang memanggil namanya sampai ia dibuat terkejut. Spontan gadis itu langsung menoleh dan berdiri tegap.

"Alifa!", ucap seseorang di balik pintu ruang dosen bahasa Inggris. Dengan suara khas menggema bak halilintar menyambar di siang bolong, gadis yang dipanggil Alifa itu langsung menyahut, "Iya Pak gimana?", tanya Alifa sedikit gugup.

"Kamu lagi sibuk tidak?", tanya orang yang berada di hadapan Alifa itu. 

"Tidak kok Pak, emangnya kenapa?",

"Kamu tolong bawakan berkas administrasi mahasiswa baru ini ke ruang bendahara ya", pinta bapak itu kali ini suaranya lebih lembut.

"Oh begitu, baik Pak", jawab Alifa bersemangat sambil meraih berkas yang diulurkan bapak tadi. Dengan langkah tegap namun santai Alifa menyusuri koridor kampus menuju ruang bendahara. Kampus hari ini terlihat cukup lengang dan sepi karena memang jadwal mata kuliah di bulan ini sudah longgar, hanya ada beberapa mahasiswa yang aktif dalam organisasi yang hadir.

Dalam perjalanan menuju ruang bendahara, Alifa masih sibuk mendengarkan musik dari headsetnya sambil sesekali melihat seisi ruangan kampus yang hampir tidak berpenghuni.

Tidak lama kemudian Alifa tiba di ruang bendahara, tapi tidak ada siapapun disana selain beberapa tumpukan berkas administrasi dan juga suara kipas yang menyala.

"Assalamu'alaikum. Ibuuuu, permisi buuu, ada orang tidak ya?", panggil Alifa santun sambil mengecek ruangan dari pintu yang terbuat dari kaca. Karena merasa tidak ada orang Alifa masuk dan langsung menaruh berkas itu di atas meja, tapi siapa sangka belum sempat ia menaruhnya seorang pria tiba-tiba muncul dari dalam toilet ruangan. "Astaghfirullah!", ucap pria itu terkejut melihat kedatangan Alifa yang tiba-tiba. Alifa yang ikut terkejut hanya mengulas senyum sedikit karena menahan malu, tidak seharusnya ia sembarangan masuk ruang bendahara tanpa izin.

"Kamu siapa?!", tanya pria itu heran. Melihat pria itu Alifa sedikit bingung ia harus memanggil pria itu Pak atau kak atau siapa, dari tampangnya dia seperti mahasiswa tapi kenapa ada di ruang bendahara? "Mungkin dia pengganti ibu bendahara kali ya?", pekik Alifa dalam hati bertanya pada diri sendiri. 

"Bagini Pak, maaf tadi saya di suruh Pak Ahmad buat antar berkas ke ruang bendahara, tadi saya sudah ketuk-ketuk pintu tapi karena tidak ada jawaban jadi saya langsung masuk mau taruh berkasnya, bapak penggantinya Ibu Cici?", tanya Alifa to the point dengan menampilkan wajah polosnya.

Pria yang di hadapannya langsung naik pitam beberapa saat setelah Alifa berbicara. "Eh jangan asal panggil Pak dong, saya ini belum tua tau!", pekik pria itu tidak terima.

"Lah jadi saya harus panggil siapa? Bukannya bapak yang jadi pengurus di ruang bendahara?", ujar Alifa ikut naik darah. 

"Saya itu keponakannya ibu Cici, tadi beliau yang suruh saya jaga ruangan ini dulu, beliau sedang ada keperluan di luar", jelas pria itu sambil duduk di kursi dengan santai. Alifa yang melihat tingkah pria itu yang sedikit angkuh langsung merasa geram. "Dasar songong mentang-mentang saudaranya orang penting belagu amat!", gumam Alifa dalam hati.

"Oh begitu, ya saya kan tidak tau. Kalau begitu ini saya simpan berkasnya disini", ucap Alifa dengan sarkatis sambil berjalan pergi, pria itu hanya melongo melihat Alifa pergi begitu saja tanpa pamit. 

"Eh permisi dulu atau ucapin salam gitu! Dasar ibu-ibu pengajian!," teriak pria itu dengan nada angkuhnya, Alifa yang mendengarnya langsung berbalik dan melihat pria itu dengan tatapan tajam sambil menghembuskan nafas kasar. 

"Ada yah cowok songong begitu!", gumam Alifa dan berjalan pergi tanpa membalas satu kata pun.

Sambil terus menggerutu Alifa berjalan pergi, ia tidak tahu harus kemana dia sekarang, karena memang alasannya datang ke kampus hanya untuk sekedar mencari kesibukan tapi karena tingkah pria tadi mood Alifa berubah sampai ingin menelan orang. "Kayaknya enak kalo cowok itu di bikin sop atau di bikin gulai yang pedes kayak ucapannya, dasar cowok mulutnya kasar banget!", gerutu Alifa sambil meremas tangannya menahan kesal. "Astaghfirullah, sadar Al, namanya juga cowok songong, belagu karena saudaranya orang penting di kampus, jadi wajar aja sih", gumam Alifa pada diri sendiri. 

Tidak lama langkah kakinya sudah sampai di depan Masjid kampus, Alifa berhenti saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh pria yang ia kenal. Pria yang selama ini ia kagumi dalam diam. "Wahyu", gumam Alifa sambil tersenyum ke arah dalam Masjid. Alifa langsung merasa tenang saat mendengar pria yang ia panggil Wahyu itu membacakan ayat suci Al-Qur'an. Wahyu adalah mahasiswa populer di kampus, selain karena memiliki suara yang bagus ia juga pintar dalam akademik, semua orang di kampus hampir mengenal sosok Wahyu sebagai mahasiswa semester 5 dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Alifa sendiri mengenal Wahyu sejak masa SMA, Wahyu adalah kakak tingkat Alifa yang berbeda satu tahun dengannya, ia adalah pria yang Alifa kagumi sejak masa itu, ia juga menjadi alasan kenapa Alifa memilih jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun sayang, terlepas dari semua pengorbanan Alifa, Wahyu tidak pernah tahu tentang perasaannya, bukan karena Alifa tidak mampu mengungkapkannya tetapi karena Wahyu sudah dimiliki wanita lain.

Tanpa diduga kini pipi Alifa basah oleh air mata, ia teringat dengan jelas bagaimana ia sudah berkorban banyak hanya untuk pria yang bernama Wahyu itu.

Alifa kembali mengingat kilas balik masalalu, seandainya ia cukup berani mengutarakan perasaanya mungkin tidak akan sesakit itu rasa kecewa yang ia alami. Paling tidak dengan mengungkapkan perasaan itu, akan hilang sedikit beban perasaan yang selama ini ia tutup dengan rapat, terlepas apa jawaban dari Wahyu nantinya, paling tidak ia telah mencoba, tetapi kenyataannya belum sempat ia mencoba ia justru gagal sebelum memulai.

Kini hanya ada penyesalan sambil terus berusaha untuk melupakan. Melupakan seseorang yang telah mengisi seluruh hatinya. Melupakan seseorang yang menjadi topik utama dalam kisah hidupnya. Melupakan seseorang yang selamanya hidup dalam dunia mimpinya... 


Bersambung...



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tentang Rasa (Part 1)"

Posting Komentar